Jumat, 30 Desember 2011

Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara

Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (1)
Setelah Libya, target AS adalah Papua

PERNYATAAN pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya, target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Penyataan Connie ini bukannya tanpa dasar (TV-One, 26/3/2011). Informasi bahwa Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Departemen Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.

Ia memberi analogi kasus Libya yang mirip lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Ya, melalui dalih hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, lalu Australia, AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekan pemerintah Habibie, padahal minyak di celah Timor merupakan tujuan dan kini tengah digarap Australia.

Begitu pula Libya, kembali alasan HAM dan demokratisasi mengemuka, kemudian AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyerang Pemerintah Qaddafi, sedang ujungnya ingin menguasai minyak Libya. Agaknya sinyalemen KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, semakin mempertebal pernyataan Connie tadi, “bahwa NKRI di ujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, melainkan mainan asing dengan konspirasi sangat rapi.” (RIMANEWS, 5/12/2011).

Adalah keprihatinan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, perihal hiruk-pikuk Papua seperti menyentak kita bersama:

“ … tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. AS sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad ..”.

Hendrajit meneruskan: “...mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi AS. Anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan Orde Baru. Mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. AS mengantisipasi, bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasinya di Papua, maka nasionalisasi atas perusahaan dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu ..”

Penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia ini menekankan lebih lanjut:

” …kekerasan di Papua bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan di luar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka. Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti ketika berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto. Mereka adalah satu. Tapi pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merakuke (tambahan penulis:”dari Miangas hingga Rote”) ..”

Pernyataan ketiga person di atas mungkin mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekadar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isu HAM dihembuskan, freedom,demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isu-isu aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.


Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (2)
Apakah ormas dan LSM lokal sadar?


NO free lunch. Tak ada makan siang gratis di Barat. Niscaya ada agenda tersembunyi hendak dicapai. Tengok saja! Tatkala ada gelontoran dana asing baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, apalagi jika gelontoran itu tak terbatas, maka sudah boleh dipastikan operasi intelijen asing tengah bermain di republik tercinta ini. Pertanyaanya ialah, adakah hal ini disadari oleh para individu, ormas, dan LSM setempat bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi (kaum komprador) bagian dari skenario penghancuran negeri dan bangsanya sendiri, dari sisi internal?

Dari kajian eksternal, kegagalan invasi militer AS dan sekutu pada tiga wilayah terakhir seperti Afghanistan, Irak, dan Libya dipastikan semakin menghancurkan pundi-pundinya di tengah krisis ekonomi dan finansial. Hugo Chaves mengisyaratkan ada seri-seri baru perang kolonial sedang dimainkan guna memulihkan sistem kapitalis global, dan itu telah dimulai dari Libya dengan “modus utang dibayar dengan bom”. Namun, betapa para loyalis Qaddafi melawan secara superdahsyat atas “keroyokan” negara-negara Barat, bahkan mampu membuat NATO pontang-panting.

Akhirnya, berbagai deception atau pengalihan perhatian dijalankan sebagai alasan untuk meninggalkan perang di Libya. Agar tak malu, dibuatlah pengalihan perhatian via video kematian Qaddafi, ataupun skenario palsu Saif al Islam, putra Qaddafi tertangkap dan lainnya. Ada edit dan counter berita. Dan, itu memang bagian dari metode invasi militernya. Bukankah hampir semua media mainstream dikuasai Barat? Dan, meski kini ekonomi negaranya semakin “dedel duel” bahkan merambah pada bidang-bidang lain, hasil yang diperoleh oleh AS dan NATO hanya sebatas menjarah harta-harta Libya di luar negeri—berkedok pembekuan aset.

Sudah barang tentu, rencana serangan ke Iran sesuai statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO perihal peta (roadmap) penaklukan dunia oleh Pentagon yang telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan—kemungkinan TERTUNDA—bila tak boleh disebut gagal. Sebab, Syria sebagai sasaran invasi setelah Libya, tak disangka, melawan total, menentang habis-habisan. Tak bisa dipungkiri, keberanian Bashar al Assad melawan tekanan Liga Arab dan Barat, selain menyadari adanya “kebangkitan Islam” di mana-mana, mutlak karena ada dukungan Cina dan Rusia, terkait berbagai kepentingan kedua adidaya di Syria. Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus punya modal dan andalan), kata ujaran kuno Jawa.

Ya. Gagal menekan Syria, NATO kembali “mengobok-obok” Libya namun disambut dengan perlawanan superdahsyat oleh loyalis Qaddafi, yang kini bernama Tentara Pembebasan Libya. Dan, wilayah-wilayah Libya pun kembali riuh oleh tembakan senjata serta ledakan-ledakan bom. Tripoli, Benghazi, Misrata, Bregah, Gharyan, Baidah, Sirte, Zawya dan wilayah lainnya terus membara oleh peperangan. Apa boleh buat, kendati kemarin ia telah menyatakan misinya usai, akhirnya PBB memperpanjang misi (dukungan) NATO di Libya mulai 16 Desember 2011 sampai Maret 2012.


Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (3)
Seri baru perang kolonial digelar di Asia Pasifik


TAMPAKNYA AS dan sekutu ngeper (gentar) melanjutkan roadmap-nya di Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah). Indikasi ini jelas terlihat, antara lain: (1) Israel tidak membalas sama sekali ketika baru-baru ini puluhan roket Hizbullah menyerangnya dari Lebanon. Ini berbeda dengan kelaziman bahwa ia cenderung agresif; (2) Merapatnya kapal perang Rusia di Laut Syria merupakan isyarat Moskow bahwa ia akan memblokir setiap serangan yang dipimpin NATO dengan kedok intervensi kemanusiaan, dan (3) Resolusi PBB untuk sanksi terhadap Syria pun diperkirakan gagal terbit setelah Rusia dan Cina menggunakan hak veto, demikian seterusnya.

Maka, jika diibaratkan penjarah, sesungguhnya misi AS dan sekutu di Libya cuma sebatas “merobek-robek” kantong namun belum sempat mengambil isi rumah, keburu diteriaki rampok oleh pemilik dan sekelilingnya. Termasuk rencana menyerang Syria dan Iran melalui “organ pemecah belah”-nya yakni Israel pun terbaca oleh publik global. Pola atau modus-modusnya sudah basi, hampir sama atau mirip-mirip sehingga mudah diterka.

Apa pun istilah, gerakan politik AS dan sekutu di Jalur Sutra, entah ia smart power, entah itu revolusi warna, atau provincial reconstruction team, bahwa geliat operasi silumannya out of control dari rencana semula. Upaya ganti rezim yang diawali destabilisasi politik ternyata berputar 180 derajat, berubah menjadi ganti sistem. Warna yang muncul lagi populer di Timur Tengah dan sekitarnya adalah KEBANGKITAN ISLAM. Termasuk tertangkapnya pesawat mata-mata RQ 170 milikAS oleh militer Iran, menimbulkan fenomena terbaru bahwa DUNIA TAK LAGI PERCAYA DENGAN TEKNOLOGI BARAT, terutama teknologi perangnya!

Sepertinya seri baru perang kolonial, sebagaimana isyarat Chaves, kini hendak digelar di Asia Pasifik, akibat ketidaksuksesan (atau gagal) di Jalur Sutra. Diawali operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union. Sasaran strategis AS ialah mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya (Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, 15/11/2011 ).

Sekurang-kurangnya ada dua peristiwa bersejarah yang dapat digunakan rujukan sementara untuk mengurai kiprah AS dan sekutunya, antara lain adalah (1) Kuliah Bung Karno (BK) kepada Che Guevara tahun 1959-an, ketika Che diperintah Fidel Castro berguru kepada BK tentang Sosialisme. Inilah sebagian materi kuliah yang diterima Che perihal Kedaulatan Modal dan Imperialisme Modern:

“ .. watak imperialisme kuno yang menghasilkan kapitalisme kuno itu beda dengan watak imperialisme modern. Imperialisme kuno bersandar pada kekuatan militer, imperialis-kapitalis modern didasari kekuatan finanz-kapital. Kelak konflik internasional bergeser pada modal, bukan lagi pada perang koloni atau wilayah. Inilah kenapa aku ingin negeriku menjadi raksasa terhadap modal itu sendiri, berkedaulatan politik, daulat atas ekonomi dan berkebudayaan otentik .."

Sedang peristiwa ke (2) Adalah great depression yang pernah menerpa Paman Sam dekade 1930-an doeloe. Diawali kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ia mampu bangkit kembali akibat meletus Perang Dunia (PD) II. Ya, persoalan apakah PD II itu diciptakan atau terjadi secara alamiah, tidak akan dibahas dalam tulisan ini (baca: Teror dan Catatan Kecil Perang Dunia, di www.theglobal-review.com). Artinya, roda perekonomian AS kala itu bisa bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan AS menerima banyak pesanan berbagai senjata dan pesawat terbang dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia.

Benang merah hal di atas sepertinya mampu menjawab kontradiksi selama ini, kenapa pemerintah Obama dan sekutu berjuang memperbaiki krisis ekonomi negara, sedang militernya justru menghambur-hamburkan uang untuk perang. Terdapat korelasi antara perang dan modal. Dengan kata lain, perang memang harus bermodal namun peperangan justru dapat menghancurkan modal itu sendiri. Modal adalah alat utama memulihkan perekonomian, dan perang merupakan salah satu sarana terbaik mengembalikan dan mencari modal. Agaknya kepulihan great depression di AS tempo doeloe boleh dijadikan contoh riil atas asumsi ini.


Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara (4-tamat)
AS ibarat makan bubur panas, mulai dari pinggir



KEMBALI ke Asia Pasifik, bahwa skenario Obama atas pangkalan AS di Darwin ialah dalam rangka membantu Indonesia bila terjadi bencana alam, barangkali itu cuma open agenda. Ketika jarak Papua cuma 800-an mil dari Darwin maka kelaziman hidden agenda sebagai tujuan pokok membonceng diam-diam. Papua memang merupakan kawasan Indonesia yang kini tengah terlibat konflik intrastate baik vertikal maupun konfik horizontal akibat krisis politik berlarut.

Isu yang ditabuh oleh beberapa elemen bangsa guna memisah Papua dari NKRI ialah HAM, kemiskinan, dan lainnya. Ketidakmampuan pemerintah pusat mengatasi kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama separatis tumbuh subur, sedang kemiskinan di sana hakikinya akibat sistem kapitalisme yang diterapkan. Baik KORUPSI yang sengaja “diciptakan” oleh sistem, juga pola pembagian royalti yang “njomplang” dan lainnya. Bagaimana dikatakan adil dan beradab, jika tukang cangkulnya mendapat 99%, sedang pemilik tanah memperoleh 1% saja? Gunung emas yang seharusnya memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh asing.

Kembali soal Darwin, konon sekitar 2500 marinir AS akan ditempatkan. Secara hitam putih terlihat sedikit, namun bila kapal induk merapat di sana niscaya membawa 10.000-an serdadu lengkap dengan peralatan perang dan pesawat-pesawat tempur siap laga, belum termasuk instrumen pengiring baik kapal perang kecil maupun kapal-kapal selam. Itu sudah prosedur tetap pergerakan kapal induk di mana pun.

Pertanyaan kenapa demikian, bahwa kesulitan AS dan sekutu menguasai (mengembalikan modal) di Jalur Sutra sebagai alasan pokok, bukankah lebih baik langsung masuk ke sasaran lain yakni: Indonesia Raya, negeri “miskin” di Asia Tenggara namun kaya akan sumberdaya alam. Banyak sumberdaya di Jalur Sutra dipastikan melimpah-ruah di Indonesia cuma belum tergali; sementara berbagai sumberdaya yang dimiliki Indonesia banyak tidak ditemui di Jalur Sutra. Konon Charlie Illingworth, bos John Perkins, sewaktu ia di Bandung pernah bilang bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004).

Lagaknya, apa yang dikerjakan AS kini ibarat memakan bubur panas, artinya memulai dari pinggiran-pinggirannya. Misalnya (rencana) pangkalan militer di Singapura, pangkalan di Subic, meskipun data terakhir AS telah meninggalkan Philipina dekade 1992-an, dan paling terakhir adalah Darwin, Australia.

Dalam perspektif hegemoni AS, menerkam Indonesia sebenarnya tinggal menunggu saat serta momentum saja. Sebab, “pembusukan dari dalam” telah berjalan mulus dan lancar sejak Orde Baru lengser. Seperti perubahan total UUD dan intervensi puluhan UU lainnya (baca: Perlu Diselidiki Kebenarannya: Bantuan Asing Untuk Amandemen UUD 1945 dan Beberapa Paket Undang-Undang, 8/12/2011 di www.theglobal-review.com), “korupsi yang diciptakan” , atau “Perang Candu” dengan berbagai kemasan, pola adu domba berbungkus ego sektoral dan lainnya. Entah momentum nanti menumpang pada hiruk-pikuk politik internal negeri, atau bakal diletuskan ketika pemilu presiden (2014) nanti dan sebagainya. Wait and see. Sekali lagi, inilah mengecoh langit menyeberangi lautan. Lalu, masihkah anak bangsa ini asyik dengan “mainan ciptaan asing”, sedang itu bagian dari trap modus potong babi?

Ibuku Tidak Profesional

Dalam era modern saat ini, kinerja seseorang di ukur dengan "profesionalitas" yang bermuara pada produktivitas. Jika produktivitas adalah hasil kinerja per satuan waktu, maka profesionalisme seseorang diukur melalui ketrampilannya (skill) dan kecerdasannya (smart) dalam menghasilkan sesuatu. Kaum profesional adalah orang yang trampil dan cerdas dalam bidangnya. Ia bekerja untuk dibayar atas jasa ketrampilan dan kecerdasannya.

Ibu saya bukan seorang profesional. Ia seorang "amatir" tulen. Sungguh, karena ia bekerja atas dasar 'cinta'. Ke-amatir-an beliau diwujudkan melalui ketelatennya dalam mengasuh, mendidik pantang mengeluh, menggendong tanpa mengaduh. Amatirisme adalah kecintaan seseorang dalam setiap bidang yang dikerjakan. Amatir berasal dari kata 'armoure' yang berarti 'cinta'.

Bung Karno, Bung Hatta, Kartini adalah pejuang pejuang 'amatiran'. Mereka bekerja atas dasar cintanya kepada bangsanya. Bahkan Rasul Muhammad SAW adalah pendakwah 'amatiran'. Beliau bekerja, berbuat, syiar Islam atas dasar cintanya kepada Allah swt untuk mencintai ummatnya. Beliau tidak trampil dan tidak cerdas, melainkan 'mumpuni' lagi 'memahami' tugas dan kewajibannya.

Benar, jika orang pintar menempatkan 'amatirisme' lebih rendah dari 'profesionalisme', karena amatirisme itu seperti sendok yang selalu menempatkan diri di bawah dan melayani dari bawah, sedang profesionalisme seperti garpu yang menghunjamkan ketajamannya dari atas.

Saya, anak ibu saya, dididik dengan cara amatir dan pernah diajarkan profesionalisme di sekolah. Terima kasih ibu, aku tetap amatiran seperti dirimu, aku tak akan mampu menyampaikan tetesan cintamu dengan 'garpu'.

Manusia

Alam semesta begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam, dan mempergilir malam dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan-ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil meyakin-yakinkan dirinya atas perlambangan itu.

Memperbaiki Indonesia

Kerakyatan, Kerak untuk Rakyat

Indonesia bukanlah sebuah perusahaan yang sudah mapan dan hebat, yang kemudian diwariskan pada anak dan cucu. Melainkan sebuah cita-cita politik dan budaya yang menuntut kerja keras, cerdas dan ikhlas untuk mewujudkan nya.

Kerakyatan saat ini merupakan kata wajib digunakan dalam berbagai dimensi kehidupan di negeri ini. Dari ekonomi hingga politik rasanya tak pas jika tidak ditambah emblem kerakyatan. Slogan dan jargon tercipta menjamur menghiasi spanduk, baliho dan umbul-umbul di seantero pelosok negeri. Tak ada moment kenegaraan yang luput dari idiom ini. Namun mengapa rakyat tak pernah kunjung hadir gegap gempita menyambutnya.

Rakyat atau ra’yah berakar Bahasa Arab “ra’a” yang berarti lihat, perhatikan, dan menjadi pembicaraan orang banyak atau publik. Sedangkan ri’aayah berarti menggembala hewan ternak. yang kemudian meluas artinya menjadi memelihara, mengurus, mengatur urusan. Jadi, ra’yah adalah pihak yang diurus. Menurut Bahasa Parsi “raaya” berarti penduduk negeri.

Berdasarkan epistimologi Bahasa Indonesia, definisi rakyat adalah adalah penduduk suatu negara atau orang kebanyakan, orang biasa, hingga anak buah/bawahan. Sedangkan kerakyatan menurut kamus bahasa mempunyai makna segala sesuatu yang mengenai rakyat. Namun belakangan ini konsep kerakyatan mengalami pergeseran makna dalam pelaksanaan di lapangan. Penduduk secara keseluruhan atau orang biasa (kecil) digeser menjadi sekelompok kecil masyarakat yang beruntung nasibnya.

Vox Populi, Vox Dei. “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”. Itulah maksud dari pepatah kuno dalam bahasa Latin. Lebih lanjut, pepatah itu seakan memberi peringatan bijak kepada pemangku pemerintah yang dalam prosesnya serta merta dipilih rakyat, agar senantiasa mendengarkan suara rakyat sebagai kehendak Ilahi. Jika demikian, maka “bonum commune” atau kesejahteraan bagi dan untuk rakyat menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan.

Namun realita yang terjadi berbagai program kerakyatan yang diklaim sangat pro rakyat ternyata hanya mengeksploitasi rakyat dan menguntungkan operator program. Wacana, diskusi, talk show hingga seminar tiada putus digelar tetapi manfaat yang dirasakan hanya sebatas para pelaksana acara. Layaknya masyarakat miskin yang menjadi obyek riset ratusan doktor, ilmuwan, penelitian hingga program pengentasannya namun nasib mereka tak kunjung berubah.

Para perintis kemerdekaan telah menegaskan makna kedaulatan rakyat (bahwa ”Tahta adalah untuk Rakyat”) dan tugas sebagai kaum madani. Rakyat dibuat terlelap dalam ketidaksadaran kedaulatan dirinya sehingga mudah dilacurkan. Antrian panjang sumbangan kedermawanan golongan atas maupun pemerintah sangat menghinakan derajat mereka. Pembagian jatah kehidupan (seperti sembako dan turunannya) tak ubahnya seperti antrian di negara-negara komunis atau Afrika. Demokrasi sembako dijejali rakyat karena mereka capek miskin, capek menganggur, dan capek berharap hampa. Tragisnya tak terhitung nyawa terenggut di antara mereka manakala berdesakan berebut remah-remah kue kesejahteraan.

Pelayanan publik bagi mereka pun setali tiga uang nasibnya, hanya men-service pihak yang sanggup membayar. Kebutuhan pokok pangan, kesehatan, pendidikan hingga transportasi nyaris mengabaikan hak rakyat lemah. Hanya berorientasi kepada segelintir rakyat berada. Akhirnya muncul anekdot rakyat kecil dilarang sakit, tidak perlu pandai dan harus “nerimo”. Ketidakberdayaan mencapai puncaknya manakala mereka menjadi korban dari keganasan bencana kastanisasi sistem kerakyatan di negeri ini.

Asesoris dan kosmetika penderitaan rakyat dijual melalui iklan layanan masyarakat, media dan jejaring sosial hingga LSM. Rakyat hanya menjadi obyek jualan para elit demi membangun citra dan simpati masyarakat. Secara berkala rakyat dijadikan sebagai batu lompatan untuk memperoleh jabatan kekuasaan di pemerintahan pusat atau daerah, di DPR atau DPRD. Begitu berhasil menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa untuk memenuhi amanat memperjuangkan aspirasi rakyat. Gemerlap kondisi kehidupan mereka jauh melebihi pemilihnya. Para penguasa legislatif dan eksekutif dipilih rakyat, digaji dengan uang rakyat masih dapat bicara ‘atas nama rakyat’ seraya mengkorupsi dan memanipulasi neraca Negara.

Para pemuka rakyat dimobilisasi untuk menyampaikan ‘kerakyatan’ secara massive lewat media atau berbagai komunitas. Tokoh rohani pun tak kalah serunya mengkampanyekan idiom ikhlas, sabar serta tawakal untuk meredam ketidakpuasan rakyat. Agama diperalat untuk meneguhkan ketimpangan bagi rakyat adalah keniscayaan dari Pemilik Kehidupan.

Diskriminasi penegakan hukum sangat menyolok ketika para operator sistem negara sangat tidak berpihak kepada rakyat. Manakala menjalani proses hukum pun perbedaan perlakuan sangat kasat mata terlihat. Kastanisasi penerapan sanksi dan hukuman terkesan sangat ketat untuk golongan bawah namun sangat longgar untuk kalangan atas. Padahal menurut Rasulullah salah satu tanda-tanda hancurnya suatu bangsa, ketika ada orang kecil bersalah – dia dihukum dan ketika ada orang ‘besar’ bersalah – dia dibebaskan.

Indonesia tengah mengalami reimperialisasi. Namun karena reimperialisasi ini minus kehadiran militer, sehingga tidak begitu kentara. Reimperialisme baru dalam bentuk penjajahan ekonomi, politik, diplomasi dan juga informasi membuat kekayaan Indonesia beralih kepemilikan dan ludes. Ada sejumlah negara yang mampu menghadapi reimperialisme itu, antara lain India, RRC, Turki, Pakistan, Thailand dan juga Malaysia. Namun administratur Indonesia ternyata tak memiliki kemauan menghindari atau memukul balik reimpelialisme dengan pukulan sepadan.

Negara ini belum layak atau batal disebut negara manakala para aparaturnya yang bekerja di pusat kekuasaan hingga penegakan hukum dengan mendapat bayaran dari rakyat, belum mampu mengabdi kepada rakyat. Hingga wajar akhirnya muncul skeptisme di tengah masyarakat yang meplesetkan konsep konsep kerakyatan menjadi “kerak untuk rakyat”. Pembagian ‘kue’ ekonomi untuk mereka hanya sebatas kerak atau ampas tahu. Sisa dari kerakusan para eksekutor kebijakan negara.